10 Years Challenge dalam Traveling

Foto di Kotagede Yogya tahun 2019 (credit: @bookpacker)

Lagi ramai #10yearschallange di media sosial, menampilkan foto masa lalu dan masa sekarang dalam perbedaan waktu 10 tahun. Saya juga ingin ikut meramaikan, tapi bukan menampilkan foto saya dengan rentang perbedaan 10 tahun yang lalu, karena saya sudah cakep sejak lahir, jadi nggak ada bedanya antara sekarang dengan 10 tahun lalu kecuali penambahan penghasilan lemak dan kerutan di wajah, cakepnya masih sama hehehe.

Pertama kali ke luar negeri tahun 2010 bersama Oki Setiana Dewi berangkat umroh bareng hadiah lomba menulis
Foto tahun 2012 waktu pertama kali traveling ke Yogya

Saya ingin berbagi pengalaman perbedaan traveling sekarang dengan 10 tahun yang lalu. Melakukan kegiatan traveling 10 tahun +++ yang lalu lebih repot dibandingkan dengan zaman sekarang. Saya ingat betul, waktu akan melakukan perjalanan ke Bogor karena diundang untuk menghadiri Konferensi Mahasiswa Biologi Indonesia di IPB, saya memerlukan tiket pesawat tujuan Jakarta, untuk membeli tiket pesawat, saya harus datang ke kantor travel agent dan meminta karyawan bagian ticketing mencarikan tiket pesawat paling murah di tanggal saya berangkat.

Akhirnya saya memilih naik pesawat Batavia Air yang harganya paling murah saat itu yaitu Rp 250.000. Harga tiket saya bayar secara tunai kepada bagian ticketing travel agent, sayangnya sekarang sudah almarhum maskapai yang saya pilih tersebut. Tiketnya berupa kertas yang diprint, lalu dimasukkan ke dalam amplop. Tiket tersebut saya jaga dengan sepenuh hati seperti harta karun berharga karena takut hilang tiketnya. Itu pengalaman pertama kali saya naik pesawat, senang karena perjalanannya gratis hahaha

Beberapa tahun berikutnya ada sedikit kemajuan, saya tidak perlu datang ke kantor travel agent, cukup menelpon dan meminta karyawan bagian ticketing mencarikan tiket paling murah ke destinasi tujuan, kemudian saya transfer uang ke rekening travel agent, lalu tiket yang dibeli akan dikirim lewat email. Saya bisa cetak sendiri tiket tersebut atau mencatat kode booking tiket dan memberitahukan kode booking tersebut ke petugas check in maskapai di bandara.

Sekarang, untuk membeli tiket pesawat lebih mudah lagi, saya tinggal leyeh-leyeh di kasur sambil buka aplikasi di hape, membandingkan harga, kemudian tiket dibeli, termasuk check in juga dapat dilakukan online. Kegiatan membeli tiket pesawat dilakukan secara cepat, mudah dan praktis dalam hitungan menit saja.

Sepuluh tahun lalu, naik kereta api itu sangat tidak nyaman dan waktunya lama sekali untuk sampai ke tempat tujuan, sehingga saya lebih memilih naik travel. Saya memiliki banyak pengalaman naik kereta ekonomi, salah satunya yaitu saking panasnya di dalam kereta, saya laksana udang yang berada di dalam panci atau oven. Merah karena matang hehehe. Belum lagi harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.

Tiket kereta tidak bertempat duduk dijual, sehingga penumpang harus berdiri atau ngemper di lantai kereta. Kalau beruntung, saya akan dapat  tempat duduk, itupun diperebutkan sesama penumpang, siapa cepat dia dapat. Hukum alam berlaku di kereta api, siapa yang kuat yang akan bertahan.

Waktu itu masih bisa melakukan bayar tiket kereta secara “bayar pucuk” artinya bayar ke kondektur setelah saya berada di dalam kereta saat kondektur menagih karcis, biasanya saya membayar setengah harga tiket. Selain itu, saya juga bisa tidak membeli tiket dengan cara menggunakan “bisikan sakti” karena ada saudara atau kenalan di kereta api yang akan berbisik ke kondektur bahwa saya adalah keluarga mereka. Luar biasa sistem pembayaran di kereta saat itu. Bisikan dapat menyelesaikan banyak perkara.

Karena perjalanan di kereta api sangat lama, ibu saya selalu membawa rantang sebagai bekal makanan sekeluarga, belum lagi ditambah jajan beragam makanan karena banyak pedagang asongan yang berjualan di dalam kereta api silih berganti seperti kacang, tahu, nasi bungkus, kerupuk, pop mie dan lain-lain. Penumpang juga mendapatkan hiburan dari pengamen-pengamen yang bernyanyi di dalam kereta. Sungguh, zaman dulu naik kereta api sangat meriah suasananya. Tapi saya tidak mau kembali ke zaman jahiliah itu.

Beruntung, sekarang kereta api di Indonesia terus berbenah sehingga menjadi transportasi yang nyaman dan menyenangkan. Beberapa kali saya naik kereta api ekonomi kondisinya jauh sekali dibandingkan 10 tahun yang lalu. Pemesanan tiket kereta, pemilihan tempat duduk dan juga check in sudah dapat dilakukan secara online lewat aplikasi.

Waktu masih kuliah, saya juga pernah naik bis ekonomi ke Jakarta berdua saja bersama teman saya yang mahasiswa kedokteran untuk membeli buku-buku murah di Pasar Kwitang, pasar yang jadi lokasi shooting film AADC 1, sekarang pasar buku murah tersebut sudah almarhum. Pergi ke Jakarta naik bis ekonomi plus menyeberang dengan kapal ferry dari pelabuhan Bakauheni ke Merak membutuhkan waktu sehari semalam alias 24 jam dari Palembang, sungguh pengalaman luar biasa, terutama saat berada di atas kapal ferry.

Kalau dapat kapal ferry yang kondisinya bagus dan tidak penuh maka saya bisa istirahat di dalam kapal, sementara jika dapat kapal yang kondisinya jelek plus penuh manusia maka saya hanya bisa duduk beralaskan koran di dek paling atas sambil menatap langit malam dan dihembus angin kencang. Tapi di dek paling atas ini, saya pernah menyaksikan dua manusia bermesraan di atas kapal tak peduli dengan yang lain, anjirr gini amat nasib gue! jadi kepengen kan…..

Entah bagaimana kondisi kapal ferry dan penyeberangan di pelabuhan Indonesia sekarang, sudah lama sekali saya tidak naik kapal ferry jadi tidak begitu update kondisinya sekarang, semoga lebih baik ya.

Begitu juga perkara akomodasi, dulu saya harus menelpon penginapan atau hotel untuk melakukan pemesanan atau meminta tolong teman dan saudara di tempat tujuan untuk mencarikan hotel untuk saya yang akhirnya berujung diminta menginap di rumah mereka daripada tidur di hotel, alasan mereka sayang uangnya, mending dipake untuk beli oleh-oleh.

Saya pernah menginap di homestay berdasarkan rekomendasi teman, dia menelpon pemilik homestay, memberi tahu bahwa saya akan menginap di sana. Homestay tersebut lebih sering menerima bule karena tamu Indonesia sering berisik sehingga mereka kapok menerima tamu lokal. Homestay tersebut tidak pernah saya lupakan sampai saat ini karena pemiliknya ramah dan pelayanannya sangat baik, ditambah lagi bayarnya boleh sesuka saya. Rezeki traveler hehehe…..

Dulu sebelum traveling, saya biasanya banyak bertanya ke teman atau saudara yang pernah ke sana atau tinggal di tempat tujuan untuk mendapatkan informasi seputar transportasi, akomodasi dan tempat-tempat wisata. Lalu informasi tersebut saya catat di buku catatan khusus untuk traveling. Buku catatan, peta dan kertas-kertas bookingan tiket memenuhi tas ransel. Setelah sampai di tempat tujuan, saya akan bertanya dan mengobrol dengan penduduk lokal untuk sampai ke tujuan sehingga interaksi saya lebih banyak dengan penduduk lokal ketimbang menggunakan hape.

Saya juga sangat menikmati waktu traveling tanpa terdistraksi untuk mengambil banyak foto untuk posting pamer di media sosial, karena pada waktu itu media sosial belum ada. Penampilan saya juga cuek dan apa adanya. Saya hanya memakai baju kaos dan celana jeans atau katun. Bahkan sering memakai baju tidur untuk pergi makan di luar saat malam hari atau berjalan-jalan di pagi hari.

Media sosial mengubah banyak hal dalam hidup saya, termasuk urusan traveling. Sekarang, saya tidak seperti dulu dalam menikmati traveling. Saya sering berfoto untuk keperluan feed eh pamer di media sosial dan postingan di blog yang menuntut saya harus memikirkan outfit yang cocok dengan tempat yang saya kunjungi. Hal ini membuat saya harus membawa beberapa baju yang bisa mix and match agar jadi OOTD (outfit of the day) yang keren di media sosial. Saya tidak secuek sepuluh tahun yang lalu untuk perkara outfit. Traveling sekarang membuat saya lebih ribet dalam mempersiapkan outfit dan perintilannya.

Selain berfoto dengan outfit yang dipikirkan dan dipersiapkan, saya juga perlu memfoto objek wisata dari berbagai sisi yang cukup menyita waktu, meskipun menurut saya, kegiatan foto-foto yang saya lakukan masih kategori normal dibandingkan beberapa orang yang saya temui di tempat wisata, yang hampir tiap beberapa detik mengambil banyak foto untuk spot yang sama. Ini salah satu alasan saya lebih suka solo traveling, saya malas menunggu travel mate yang sibuk selfie atau berfoto puluhan kali di satu spot yang sama karena akan menghabiskan waktu, sementara banyak destinasi lainnya dalam list yang harus saya kunjungi.

Sepuluh tahun telah berlalu, sekarang melakukan traveling lebih mudah berkat kemajuan teknologi informasi. Dengan modal hape dan paket internet, saya dapat merencanakan traveling dan memesan ini dan itu dalam genggaman tangan yang hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Biaya traveling juga lebih murah karena banyak tawaran promo dan diskon dari berbagai maskapai penerbangan, apps online travel agent dan apps pembayaran elektronik. Saya tidak perlu membawa banyak kertas bukti booking tiket, akomodasi dan tempat wisata, cukup menunjukkan buktinya lewat hape.

Tidak perlu membawa peta karena sudah ada gmaps dan waze. Untuk transportasi lokal, sudah banyak tempat yang menggunakan transportasi online seperti gojek dan grab. Tempat-tempat wisata dan reviewnya bisa dilihat di Google Local Guide dan juga Tripadvisor.

Dengan perkembangan teknologi yang mempermudah traveling, lalu pertanyaan ini timbul di pikiran saya.

“Apa tantangan traveling zaman sekarang?”

Yuk berbagi pendapat teman-teman di kolom komen.

10 comments

  1. Aku yang paling ngerasa perubahan itu di kereta dan beberapa terminal bus yang sekarang jadi bagus. Soal sosmed ini juga emang mengubah banyak hal sih. Hahaha. Oh dan kemudahan membeli tiket dan hotel ini juga perubahan signifikan.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar